Kekerasan terhadap perempuan kembali menjadi sorotan. Sementara ini, data yang diperoleh menyebutkan, Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama 2011 menangani
119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 113.878
kasus (95,61 %) di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di ranah
domestik sementara 5.187 kasus terjadi di ranah publik dan 42 kasus
terjadi di ranah negara. Dari dua tahun silam Komisi
Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan mengharapkan Konferensi Tingkat
Tinggi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) ke-18 mendorong tumbuhnya
lembaga HAM perempuan di semua negara anggota ASEAN. Akan tetapi tidak adanya perubahan yang signifikan bahkan sampai awal tahun 2013 pun kasus kekerasan terhadap perempuan terus bermunculan. Bisakah lembaga perempuan seperti
itu mengentaskan persoalan perempuan?
Komnas Perempuan merupakan lembaga nonstruktural negara yang keberadaannya diakui sebagai satu-satunya model mekanisme HAM perempuan yang independen di dunia. Dalam setiap mengambil keputusan, Komnas Perempuan selalu melibatkan mitra strategisnya yakni korban, organisasi perempuan, lembaga layanan dan lembaga pemerintah, untuk terus mendorong penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Semua keputusan bersifat independen dan tidak dapat diintervensi lembaga negara manapun, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Komnas Perempuan juga terus mendorong peran negara dalam mengungkapkan kebenaran, pemulihan dan keadilan kepada perempuan korban kekerasan sehingga kekerasan terhadap perempuan di tingkat apa saja, bisa dihilangkan.
Tentu saja, sebagai wadah perempuan di negara sekuler, proses pendampingan terhadap perempuan-perempuan bermasalah ini pun berangkat dari paradigma sekuler. Di mana, dalam kacamata sekuler, kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan selalu ditempatkan sebagai subordinat laki-laki. Dan, agama Islam dituduh memberi kontribusi besar atas konstruksi perempuan sebagai makhluk kelas dua itu. Karena itu, solusi yang ditawarkan untuk mengentaskan problem perempuan adalah dengan membebaskan perempuan dari belenggu ikatan agama.
Jika ada perempuan yang menjadi korban kekerasan suami misalnya, selalu suami yang disalahkan dan didorong untuk bercerai. Setelah bercerai, kemandirian ekonomi menjadi sasaran program selanjutnya, sehingga ibu-ibu mencari nafkah dengan meninggalkan anak-anaknya. Anak-anak menjadi kehilangan kasih sayang dan figur orang tua. Kelak ia menjadi anak bermasalah. Lingkaran setan itu terus bergulir tanpa ujung, tanpa solusi mengakar.
Ya, memang, bisa jadi Komnas Perempuan mampu mengatasi persoalan individu perempuan yang menjadi korban. Misal mendampingi, melakukan pemberdayaan dan konseling secara psikologis. Namun, itu hanya bersifat personal. Satu perempuan lepas dari masalah, akan bermunculan lagi perempuan-perempuan bermasalah lainnya. Ini terjadi karena sistem yang diterapkan bukan sistem yang peduli pada perempuan.
Selama perempuan dijadikan objek eksploitasi oleh sistem sekuler yang menuhankan bodi dan materi, perempuan selamanya akan terus terinjak-injak. Dengan demikian, berapa banyak pun Komnas Perempuan didirikan di berbagai negara, tidak akan efektif mengentaskan nasib perempuan kecuali mengganti sistem sekuler dengan sistem Islam. Karena, hanya sistem Islam, dengan pemimpinnya yang amanah, insya Allah akan mampu menyelamatkan perempuan sampai akar-akarnya.
Islam sangat melindungi perempuan. Sudah sering dijabarkan, betapa rasa kasih sayang Allah SWT tercermin dalam syariat Islam yang mengatur peran dan kedudukan seorang perempuan. Seperti perempuan sebagai manajer rumah tangga, sehingga lebih banyak beraktivitas di ruang privat. Hal ini mempersempit peluang terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Kalaupun orang di lingkungan tempat tinggalnya berpotensi melakukan kekerasan dan pelecehan, tetap jauh lebih kecil peluangnya dibanding perempuan itu dibiarkan berkeliaran dan dieksploitasi. Seperti kasus banyaknya TKW yang disiksa, bahkan dibunuh majikan. Semua tidak akan terjadi manakala TKW tersebut sudah ada yang menanggung nafkahnya sehingga tidak perlu bekerja.
Karena itu, sudah selayaknya para perempuan merindukan datangnya pemimpin yang benar-benar peduli, menjadi pelindung dan pengayom kaumnya. Hal itu pernah dicontohkan di masa Khilafah. Konon, dahulu di masa keemasan Islam ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Ia adalah Khalifah Al-Mutasim dari dinasti Bani Abbasiyah (833-842 Masehi). Kisah heroik Al-Mutashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah itu terjadi 223 Hijriyyah, dalam judul Penaklukan Kota Ammuriah.
Pada 837, Al-Mutasim Billah menyahut seruan seorang budak Muslimah yang konon berasal dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar. Ia meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan kaum Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mutashim Billah dengan lafadz yang legendaris "waa Mu’tashimaah!" yang juga berarti "di mana kau Mutashim, tolonglah aku!" Mendapat laporan mengenai pelecehan ini, sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di Baghdad hingga Kota Ammuriah (Turki).
Ribuan tentara Muslim bergerak pada April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu'tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Setelah menduduki kota tersebut, khalifah memanggil sang pelapor untuk ditunjukkan di mana rumah wanita tersebut. Saat berjumpa dengannya ia mengucapkan "Wahai saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku?" Dan sang budak wanita ini pun dibebaskan oleh khalifah serta orang Romawi yang melecehkannya dijadikan budak bagi wanita tersebut.
Subhanallah! Begitu mulianya harga diri seorang perempuan, hingga Khalifah pun membelanya secara maksimal. Pemimpin seperti itulah yang senantiasa kita rindukan. Insya Allah, perempuan akan terlepas dari berbagai persoalan jika memiliki pemimpin amanah.
Komnas Perempuan merupakan lembaga nonstruktural negara yang keberadaannya diakui sebagai satu-satunya model mekanisme HAM perempuan yang independen di dunia. Dalam setiap mengambil keputusan, Komnas Perempuan selalu melibatkan mitra strategisnya yakni korban, organisasi perempuan, lembaga layanan dan lembaga pemerintah, untuk terus mendorong penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Semua keputusan bersifat independen dan tidak dapat diintervensi lembaga negara manapun, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Komnas Perempuan juga terus mendorong peran negara dalam mengungkapkan kebenaran, pemulihan dan keadilan kepada perempuan korban kekerasan sehingga kekerasan terhadap perempuan di tingkat apa saja, bisa dihilangkan.
Tentu saja, sebagai wadah perempuan di negara sekuler, proses pendampingan terhadap perempuan-perempuan bermasalah ini pun berangkat dari paradigma sekuler. Di mana, dalam kacamata sekuler, kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan selalu ditempatkan sebagai subordinat laki-laki. Dan, agama Islam dituduh memberi kontribusi besar atas konstruksi perempuan sebagai makhluk kelas dua itu. Karena itu, solusi yang ditawarkan untuk mengentaskan problem perempuan adalah dengan membebaskan perempuan dari belenggu ikatan agama.
Jika ada perempuan yang menjadi korban kekerasan suami misalnya, selalu suami yang disalahkan dan didorong untuk bercerai. Setelah bercerai, kemandirian ekonomi menjadi sasaran program selanjutnya, sehingga ibu-ibu mencari nafkah dengan meninggalkan anak-anaknya. Anak-anak menjadi kehilangan kasih sayang dan figur orang tua. Kelak ia menjadi anak bermasalah. Lingkaran setan itu terus bergulir tanpa ujung, tanpa solusi mengakar.
Ya, memang, bisa jadi Komnas Perempuan mampu mengatasi persoalan individu perempuan yang menjadi korban. Misal mendampingi, melakukan pemberdayaan dan konseling secara psikologis. Namun, itu hanya bersifat personal. Satu perempuan lepas dari masalah, akan bermunculan lagi perempuan-perempuan bermasalah lainnya. Ini terjadi karena sistem yang diterapkan bukan sistem yang peduli pada perempuan.
Selama perempuan dijadikan objek eksploitasi oleh sistem sekuler yang menuhankan bodi dan materi, perempuan selamanya akan terus terinjak-injak. Dengan demikian, berapa banyak pun Komnas Perempuan didirikan di berbagai negara, tidak akan efektif mengentaskan nasib perempuan kecuali mengganti sistem sekuler dengan sistem Islam. Karena, hanya sistem Islam, dengan pemimpinnya yang amanah, insya Allah akan mampu menyelamatkan perempuan sampai akar-akarnya.
Islam sangat melindungi perempuan. Sudah sering dijabarkan, betapa rasa kasih sayang Allah SWT tercermin dalam syariat Islam yang mengatur peran dan kedudukan seorang perempuan. Seperti perempuan sebagai manajer rumah tangga, sehingga lebih banyak beraktivitas di ruang privat. Hal ini mempersempit peluang terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Kalaupun orang di lingkungan tempat tinggalnya berpotensi melakukan kekerasan dan pelecehan, tetap jauh lebih kecil peluangnya dibanding perempuan itu dibiarkan berkeliaran dan dieksploitasi. Seperti kasus banyaknya TKW yang disiksa, bahkan dibunuh majikan. Semua tidak akan terjadi manakala TKW tersebut sudah ada yang menanggung nafkahnya sehingga tidak perlu bekerja.
Karena itu, sudah selayaknya para perempuan merindukan datangnya pemimpin yang benar-benar peduli, menjadi pelindung dan pengayom kaumnya. Hal itu pernah dicontohkan di masa Khilafah. Konon, dahulu di masa keemasan Islam ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Ia adalah Khalifah Al-Mutasim dari dinasti Bani Abbasiyah (833-842 Masehi). Kisah heroik Al-Mutashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah itu terjadi 223 Hijriyyah, dalam judul Penaklukan Kota Ammuriah.
Pada 837, Al-Mutasim Billah menyahut seruan seorang budak Muslimah yang konon berasal dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar. Ia meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan kaum Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mutashim Billah dengan lafadz yang legendaris "waa Mu’tashimaah!" yang juga berarti "di mana kau Mutashim, tolonglah aku!" Mendapat laporan mengenai pelecehan ini, sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di Baghdad hingga Kota Ammuriah (Turki).
Ribuan tentara Muslim bergerak pada April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu'tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Setelah menduduki kota tersebut, khalifah memanggil sang pelapor untuk ditunjukkan di mana rumah wanita tersebut. Saat berjumpa dengannya ia mengucapkan "Wahai saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku?" Dan sang budak wanita ini pun dibebaskan oleh khalifah serta orang Romawi yang melecehkannya dijadikan budak bagi wanita tersebut.
Subhanallah! Begitu mulianya harga diri seorang perempuan, hingga Khalifah pun membelanya secara maksimal. Pemimpin seperti itulah yang senantiasa kita rindukan. Insya Allah, perempuan akan terlepas dari berbagai persoalan jika memiliki pemimpin amanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar