Senin, 05 Agustus 2013

UKT : “Uang Kuliah Tunggal Atau Uang Kuliah Tinggi”



Beberapa minggu lagi akan dimulai tahun ajaran baru 2013-2014, kabarnya  pemerintah memberlakukan kebijakan Kuliah Tunggal (UKT) Yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 55 Tahun 2013 tentang BKT dan UKT Pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemendikbud, untuk meringankan beban mahasiswa adalah salah satu dasar pertimbangan kebijakan UKT. Demikian ditegaskan pada poin pertimbangan (poin b) PermenDikBud tersebut. Namun kenyataannya sangat jauh dari yang diharapkan. Sebagai gambaran, biaya kuliah per mahasiswa pada Program Studi Kedokteran berkisar Rp 32 – 62 juta/tahun; Ilmu Tehnik Rp 14 – 20 juta/tahun; dan Ilmu Sosial Rp 10 – 17 juta/tahun (Lihat Hand out: “Pokok-Pokok Pengaturan Rancangan RUU DIKTI, H.  Syamsul Bachri M.Sc.  Wa.Ka. Komisi X DPR RI/ Ka Panja RUU DIKTI Komisi X DPR RI). Sementara pendapatan per kapita masyarakat Indonesia hanya Rp 33,3 juta (BPS, 2012).  Jelas ini sangat membebani rakyat, di tengah-tengah serba mahalnya berbagai kebutuhan pokok masyarakat.
Dengan adanya kebijakan BKT dan UKT, biaya pendidikan di tingkat pendidikan tinggi tidak menjadi lebih murah malah “Uang Kuliah Tinggi”.  Ini terlihat dari tingginya nilai BKT, yang mendasari penentuan nilai UKT.  Yaitu keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri.  Nilai BKT dikurangi biaya yang ditanggung pemerintah merupakan nilai UKT, yang digolongkan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Tidak sedikit yang terkecoh dengan gagasan tata kelola yang liberalistik tersebut. karena gagasan ini dipoles dengan prinsip-prinsip yang dipandang ideal. Tata kelola pendidikan tinggi yang baik tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi menjadi jiwa tata kelola.  Bahkan inilah (liberalisasi, komersialisasi) yang menjadi sumber petaka pendidikan tinggi saat ini.  Mulai dari biaya pendidikan tinggi sangat mahal, hingga disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi.  Jelas ini konsep tata kelola pendidikan tinggi yang menyalahi ketentuan Islam, disamping amat sangat membahayakan masa depan umat. 
Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) peserta didik serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284).
Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas (w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), dan Imam Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis, fikih, dan sejarah; Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur; al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika; dan masih banyak lagi. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat. Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam sajalah kita bisa meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.