Beberapa minggu lagi akan dimulai
tahun ajaran baru 2013-2014, kabarnya pemerintah memberlakukan kebijakan Kuliah
Tunggal (UKT) Yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 55
Tahun 2013 tentang BKT dan UKT Pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan
Kemendikbud, untuk meringankan beban mahasiswa adalah salah satu dasar
pertimbangan kebijakan UKT. Demikian ditegaskan pada poin pertimbangan (poin b)
PermenDikBud tersebut. Namun kenyataannya sangat jauh dari yang diharapkan. Sebagai
gambaran, biaya kuliah per mahasiswa pada Program Studi Kedokteran berkisar Rp
32 – 62 juta/tahun; Ilmu Tehnik Rp 14 – 20 juta/tahun; dan Ilmu Sosial Rp 10 –
17 juta/tahun (Lihat Hand out: “Pokok-Pokok Pengaturan Rancangan RUU
DIKTI, H. Syamsul Bachri M.Sc. Wa.Ka. Komisi X DPR RI/ Ka Panja RUU
DIKTI Komisi X DPR RI). Sementara pendapatan per kapita masyarakat Indonesia
hanya Rp 33,3 juta (BPS, 2012). Jelas
ini sangat membebani rakyat, di tengah-tengah serba mahalnya berbagai kebutuhan
pokok masyarakat.
Dengan adanya kebijakan BKT dan
UKT, biaya pendidikan di tingkat pendidikan tinggi tidak menjadi lebih murah
malah “Uang Kuliah Tinggi”. Ini terlihat dari tingginya nilai BKT, yang
mendasari penentuan nilai UKT. Yaitu keseluruhan biaya operasional per
mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri.
Nilai BKT dikurangi biaya yang ditanggung pemerintah merupakan nilai UKT, yang
digolongkan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Tidak sedikit yang
terkecoh dengan gagasan tata kelola yang liberalistik tersebut. karena gagasan
ini dipoles dengan prinsip-prinsip yang dipandang ideal. Tata kelola pendidikan
tinggi yang baik tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi menjadi jiwa
tata kelola. Bahkan inilah (liberalisasi, komersialisasi) yang menjadi
sumber petaka pendidikan tinggi saat ini. Mulai dari biaya pendidikan
tinggi sangat mahal, hingga disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi.
Jelas ini konsep tata kelola pendidikan tinggi yang menyalahi ketentuan Islam,
disamping amat sangat membahayakan masa depan umat.
Dalam Islam, tujuan pendidikan
adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah)
peserta didik serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan
dengan kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib
dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan
sebagainya. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh
warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada
warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan
fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm.
283-284).
Konsep pendidikan murah/gratis
ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, hingga
Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924
M. Selama itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf
internasional dalam berbagai bidang. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas
(w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), dan Imam
Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis, fikih, dan sejarah; Jabir bin
Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur; al-Khawarizmi (w. 780) sebagai
ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan
matematika; dan masih banyak lagi. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem
ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam milik rakyat. Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai
krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah
baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan
sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam sajalah kita bisa meraih
kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.